Feminisme sebagai sebuah faham beranggapan bahwa segala bentuk objektifikasi merupakan tindakan tercela dan bertentangan dengan hakikat dan martabat manusia sebagai makhluk yang diciptakan. Banyak perempuan memiliki kecendrungan menuduh laki-laki dengan mengkambing-hitamkan budaya patriaki sebagai penyebab ketidaksetaraan gender di indonesia. Apa sebab? Karena perempuan selalu merasa menjadi korban kemudian mencari-cari orang yang bisa disalahkan (playing victim). Akhirnya untuk menutupi kesalahannya, mereka memainkan wacana bahwa laki-laki satu-satunya subjek yang bertanggung jawab terhadap objektifikasi tubuh seksual dan tubuh sosial perempuan. Apa tanggapan Lesti tentang fenomena poster seksisme yang dipajang-sebarkan oleh beberapa mahasiswi saat demontrasi 11 April lalu?
Beredarnya poster-poster seksisme dalam aksi BEM SI, secara samar-samar tapi sungguh-sungguh memperlihatkan bagaimana perempuan kehilangan arah (floathing) dan terombang-ambing dalam pusaran badai penindasan yang mereka anggap kebebasan. Entah apa yang ada dalam benak kawan-kawan perempuan kala itu sehingga dengan bangga dan penuh percaya diri mengadu kalimat seksis. Barangkali kawan-kawan perempuan menganggap tulisan tersebut sebagai sebuah ekspresi kebebasan. Namun sebelum ini, tidak kah kawan-kawan berpikir bahwa hal tersebut malam semakin memperjelas objektifikasi tubuh perempuan.
Kalimat seperti “lebih baik bercinta 3 ronde daripada harus di periode”, “jangan minta tiga ronde, kalau 2 ronde saja sudah ngos-ngosan”, “daripada tiga periode, lebih enak tiga ronde”, “daripada BBM naik, mending ayang yang naik”, mending 3 ronde di ranjang, daripada 3 periode di pemerintahan”, barangkali dimaksudkan untuk menyindir, goyon atau keberanin perempuan untuk show up. Tapi jika betul itu sindiran, pantaskah mahasiswa, sang akademisi, elit intelektual menyindir dengan kalimat-kalimat yang berkonotasi melecehkan sesama perempuan?
Kalau kemudian seksisme dijadikan humor atau guyon, apa kabar perempuan yang mendapat pelecahan seksual dalam bentuk tindakan seksis? Dan jika seksisme dianggap pencapaian, haruskan perempuan memeperlihatkan dirinya dengan cara yang kurang terpuji? Apakah kaum perempuan sudah demikian putus asa dan kehabisan akal supaya terlihat lebih menonjol ketimbang laki-laki? Saya pikir, dan bukan hanya saya yang berpikir, kalau sebatas ingin lebih menonjol, tanpa poster seksis sekali pun perempuan akan tetap lebih menonjol dari pada laki-laki, kapan dan di mana pun.
Dalam sebuah budaya dengan masyarakat yang masih kukuh memegang nilai dan norma sebagai prinsip hidup bersama, maka selama itu perempuan tidak hanya diistimewakan, dihargai, dihormati, tetapi sebaliknya. Perempuan yang tidak dapat menjaga laku-tuturnya hanya akan berakhir dalam keterasingan dan kebimbangan. Seorang penulis asal Amerika, Anna Quindlen mengemukakan pandangannya tentang kaum perempuan yang melalukan perlawanan terhadap objektifikasi seksual adalah dengan cara-cara yang kurang pantas.
“Saya tidak akan pernah mengerti orang-orang yang berpikir bahwa cara untuk menunjukkan perlawanan mereka benar terhadap seksual adalah dengan menulis surat yang penuh dengan kata-kata kotor”.
Sudah menjadi pengetahuan umum, seks bukan barang baru tetapi telah ada bersamaan dengan munculnya umat manusia. Indonesia adalah Indonesia, Indonesia bukan Amerika. Maka dari itu segala hal-ihwal yang berhubungan dengan seks dan seksisme yang dinilai menyenggol norma kesusilaan maka dengan sendiri termasuk tindakan tidak terpujia. Saya ingatkan kembali, Indonesia adalah Indonesia.
Kembali pada topik pembahasan. Berbicara seksisme dalam poster maka otomatis kita digiring untuk melihat perkembangan seks dari domestik menjadi go public, dari tabu menjadi sabu. Mohon lebih tenang, sabu yang saya pakai adalah sabu yang saya dapat dari Alam si embah dokon, bukan dari si bandar. Hal tersebut bermula dari mulai maraknya keterlibatan perempuan di ruang publik, seperti dalam industri penyiaran, tekstil, dan makanan. Dunia pendidikan yang semakin luas serta ketersediaan informasi yang dapat dengan murah dan mudah diakses siapa dan kapan saja.
Keterbukaan seks dari tabu menjadi sabu memperlihatkan bagaimana seks mensimbolisasikan suatu kekuasaan elit industri tertentu. Selain itu fenomena seksisme dalam poster kemarin merupakan satu diantara beberapa damapak komodifikasi seks. Sebagaimana perempuan selalu menjadi objek seksual yang diperjual belikan di pasar gelap, pasar remang-remang, pasar siang hari bolong sampai pasar tanpa terang-gelap alias pasar online. Larisnya sesuatu yang berbau seksualitas turut memantik para Sineas dan pembuat iklan. Wal Hasil, film-film mulai dibumbui adegan erotis. Iklan mobil, minuman, shampoo, sabun dan berbagai macam jenis prodak lain didominasi perempuan. Mohon maaf, sepertinya seks kalah laris ketimbang agama, entah karena agama dianggap terlalu dogmatis, atau otak kita yang dasarnya dabul.
Seks melaju demikian pesat, ini tampak mulai kurun dua-tiga tahun terakhir, terutama semenjak munculnya trend speak up. Speak up mulanya merupakan terapi penyembuhan dengan menekankan pada keterus-terangan kini mengalamai pergeseran nilai dan disalahartikan. Kerap kali orang, bahkan public figure sekalipun mengatasnamakan speak up untuk mengistilahkan tindakan terus terang mereka, termasuk dalam urusan paling privat (seksual). Sejalan dengan itu, muncul pula beragam istilah-isalah yang bersangkut paut dengan konten seksualitas, seperti TT, Pemersatu Bangsa, Boegil, dan lain-lain. Tak perlu saya berpayah diri menghadirkan data sebab dapat dengan mudah kita temukan fakta viewers bertema seksual jauh mengalahkan konten seorang ‘alim yang notabene mengangkat tema keislaman, kemanusiaan dan keindonesiaan.
Ternyata konten-konten yang memperlihatkan obektifikasi dan stigmatisasi terhadap perempuan memiliki dampak buruk bagi diri perempuan. Dalam jurnal akademis, Psychology of Women Quarterly menjelaskan bahwa, paparan konten yang mengobjektifikasi perempuan akan meningkatkan kecendurungan laki-laki untuk melakukan pelecehan terhadap perempuan. Analoginya sama seperti adagium dari Hitler bahwa, kebenaran lahir dari kebohongan yang diulang terus menerus. Artinya hal paling tabu (seks) akan dianggap menjadi sesuatu yang lumrah bila terus menerus dipertunjukkan, terutama bila yang mempertunjukkannya adalah perempuan.
Untuk itu, alangkah baiknya bila perempuan harus lekas terjaga sebab tindakan seksisme yang diinterpretasi sebagai kemajuan dan kebebasan ternyata hanya bujuk-rayu kapitalisme. Perlu diingat bahwa, seksisme dalam bentuk apapun tidak lain hanya akan semakin memperkuat supremasi laki-laki terhadap perempuan. Narasi seksime membangkitkan imajinasi dan fantasi-fantasi, secara perlahan namun pasti dipelajari dan internalisasik dalam kehidupan sehari-hari. Praktisnya, kualitas mahasiswa sebagai simbol kaum terdidik mulai diragukan, akibatnya alih-alih fokus pada poin tuntutan, masyarakt lebih fokus menikmati kalimat-kalimat seksis pada poster yang dibawa kaum perempuan.
Mengutip kata-kata Maya Angelo, seorang penulis dan aktris wanita Afrika yang mengatakan “saya senang melihat gadis muda yang mendominasi dunia. Hidup itu keras. Anda harus berjuang”. Oleh sebab itu, teruslah berjuang kaum perempuan. Teruslah terlibat dalam mimbar-mimbar kritis tetapi jangan sampai melupakan pesan R.A Kartini bahwa “banyak hal yang dapat menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri”. Ingat! Sikapmu! Sikapmu! Dan sikapmu sendiri.
Setelah pembaca menyelesaikan tulisan ini, saya mengajak pembaca untuk mendengarkan sebuah lagu dangdut berjudul Euphoria Kebebasan ciptaan Om Haji Roma Irama. Lagunya asik, dan lebih asik lagi kalau Anda sebats sembari ditemani secangkir kopi, boleh pasangan bagi yang punya. Terakhir, mari sama-sama saling memberi tahu!
*Penulis merupakan aktivis wanita di Jawa Timur, lahir di Lombok dan bermetafora pada Teater Kopi di Kota Malang.