Kutai Timur – Sebuah pertengkaran kecil antara pasangan suami istri di Kecamatan Sangatta Utara, Kutai Timur (Kutim), berakhir dengan kekerasan. Pria berinisial FT tak mampu menahan emosi hingga memukul dan mencekik istrinya, SIP, di rumah mereka, Jumat (22/8/2025) pagi.
Insiden terjadi sekitar pukul 06.45 WITA di Perumahan HTR Blok D No.10, Jalan AW Syahrani, Sangatta Utara. Perselisihan bermula ketika FT melarang anaknya berangkat ke sekolah lantaran hujan deras. Larangan itu justru menimbulkan adu mulut dengan SIP, hingga berujung pada tindakan kekerasan fisik.
Korban sempat mengalami luka di bibir dan tangan akibat peristiwa tersebut. Namun tak lama kemudian, FT menyesali perbuatannya dan menyampaikan permintaan maaf di hadapan keluarga serta tokoh masyarakat sekitar.
Setelah melalui proses penyelidikan, Kejaksaan Negeri (Kejari) Kutai Timur memutuskan perkara tersebut dapat diselesaikan lewat jalur keadilan restoratif. Langkah ini diambil berdasarkan surat resmi Nomor B-3973/O.4.20/Etl.2/10/2025 yang dikeluarkan Kejari Kutim.
“Kasus ini memenuhi semua unsur keadilan restoratif. Pelaku bukan residivis, ancaman hukumannya di bawah lima tahun, dan yang terpenting, korban dan pelaku telah berdamai secara sukarela,”jelas Kepala Seksi Pidana Umum (Kasipidum) Kejari Kutim, Bayu Fermady, Rabu (22/10/2025).
Proses perdamaian berlangsung di Rumah Restorative Justice Desa Sangatta Bara, pada 9 Oktober 2025. Dalam kesempatan itu, FT menyampaikan permohonan maaf secara terbuka dan berjanji untuk memperbaiki perilakunya.
“Keduanya sudah sepakat untuk berdamai dan melanjutkan kehidupan rumah tangga dengan lebih baik. Masyarakat juga ikut mendukung penyelesaian damai ini,”tambah Bayu.
Dari hasil pemeriksaan, sejumlah barang bukti diamankan, antara lain baju lengan panjang krem bermotif bunga, celana panjang karet warna krem, dan jaket biru navy. Seluruh barang tersebut telah dikembalikan kepada FT selaku pemilik.
Kejari Kutim menegaskan bahwa penghentian perkara ini didasarkan pada Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, serta Pedoman Jaksa Agung Nomor 24 Tahun 2021.
“Keadilan restoratif bukan berarti membebaskan pelaku dari kesalahan, tetapi memulihkan hubungan sosial dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri,”tegasnya.
Meski begitu, pihak kejaksaan menekankan bahwa keputusan ini bisa dibuka kembali jika ditemukan alasan baru oleh penyidik atau jika ada keputusan pengadilan yang menyatakan penyelesaian tidak sah.
Dengan berakhirnya perkara tersebut, Kejari Kutim berharap pendekatan keadilan restoratif bisa menjadi contoh penyelesaian yang berlandaskan kemanusiaan.
“Tujuan hukum tidak hanya menghukum, tetapi menghadirkan kedamaian dan pemulihan bagi semua pihak. Selama kedua belah pihak beritikad baik, jalur damai adalah pilihan terbaik,”tutup Bayu.











